Tema: Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui Pendidikan Pendahuluan

Bahan Kotbah Bulan Pendidikan, Minggu 16 Juli 2023

Bacaan Alkitab: 2 Tawarikh. 17:1-9, Efesus 4:17-24

Tema: Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui Pendidikan Pendahuluan

Menjadi manusia baru merupakan salah satu ajaran penting kekristenan. Sayangnya, penekanannya seringkali terlalu bersifat spiritual. Padahal Efesus 4:17-23 menegaskan bahwa manusia baru tidak hanya mencakup transformasi roh, tetapi juga pikiran. Dalam ayat 17, Paulus menegaskan bahwa manusia baru mencakup transformasi terhadap pikiran yang sia-sia. “Pikiran” (nous) disini berarti kemampuan persepsi dan pemahaman, juga cara berpikir dan menilai. Melalui transformasi pikiran, seseorang mampu mempertimbangkan dan menilai sesuatu dengan bijaksana. Pemahaman ini menunjukkan bahwa gereja tidak hanya berkonsentrasi pada mendidik orang dalam Roh, tetapi juga pemikiran mereka.

Tafsir Teks

Saat dilantik menjadi raja Yehuda, Yosafat melakukan beberapa pembaharuan di dalam negaranya. Ia menata kekuatan militer dengan pasukan yang besar (ay. 2). Ia membangun kehidupan iman pribadinya dengan mencari Allah dan hidup menurut perintah-perintah-Nya (ay. 3-4). Ia pun memberi perhatian serius pada kehidupan iman rakyatnya dengan menjauhkan segala bukit pengorbanan dan tiang berhala di seluruh wilayah kerajaannya (ay. 6).

Setelah tiga tahun memerintah, raja Yosafat meluncurkan salah satu program prioritasnya yakni pendidikan (ay. 7). Raja menyadari bahwa sumberdaya manusia (SDM) menjadi syarat penting kemajuan sebuah bangsa. Manusia merupakan unsur terpenting dalam sebuah bangsa. Keberhasilan negara dalam mencapai tujuan, serta kemampuannya menghadapi berbagai tantangan dari dalam maupun dari luar, sangat ditentukan oleh kemampuan SDM rakyatnya. Itu sebabnya pendidikan merupakan progam pemerintah yang sangat penting.

Guna mencapai hasil yang baik, program pendidikan raja ini melibatkan stakeholder yang tersedia. Program ini dipimpin oleh sebuah Tim Pendidikan beranggotakan 16 orang, yang terdiri dari lima orang pembesar, sembilan orang pengajar Lewi dan dua orang imam (ay. 7-8). Komposisi ini menjelaskan bahwa pendidikan adalah pekerjaan raksasa yang membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, baik raja, pembesar, pengajar dan imam.

Teks menyebut tim pendidikan ini sebagai utusan (ay. 7). Bukan hanya orang Lewi dan para imam yang boleh disebut utusan. Jabatan itu bukan hanya hak istimewa orang-orang yang bekerja di bidang spiritual. Teks memperluas cakupan jabatan ini bagi para pelaku pendidikan. Itu berari bahwa tugas gereja dan tugas pendidikan memiliki urgensi yang sama. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain, yang satu tidak lebih terhormat dari yang lain. Keduanya mengerjakan tugas perutusan yang sama, dengan fungsi yang berbeda. Pemahaman ini mencakup pula prinsip bahwa membangun gedung gereja sama pentingnya dengan membangun gedung sekolah GMIT. Bila gereja memenuhi gedungnya dengan meja dan kursi, hal yang sama harus juga terjadi di sekolah GMIT. Tidak boleh terjadi situasi dimana gereja penuh dengan LCD/Infocus, sementara sekolah GMIT hanya memiliki papan tulis dan kapur tulis. Kedua tugas perutusan ini, baik tugas keimamatan (gereja) maupun tugas pengajaran (sekolah), mesti mendapat perhatian yang sejajar.

Prinsip utama program pendidikan raja ialah pendidikan bagi semua orang (ay. 9). Raja menyadari akan pentingnya pendidikan bagi semua orang, baik kaya atau miskin, kota atau desa. Perbedaan akademik yang sangat besar di antara masyarakat akan berpengaruh dalam ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Ini akan berdampak dramatis pada anak-anak dari keluarga miskin. Negara dan agama perlu mengatasi kesenjangan ini dengan menyediakan pendidikan bagi semua orang.

Tugas mengajar ini dilakukan “dengan membawa kitab Taurat.” Ini menunjukkan integrasi antara pengajaran firman Tuhan dan pengetahuan umum. Pendidikan yang tidak melibatkan firman Tuhan justru menyebabkan sekolah menjadi gerbang neraka, dan bukan gerbang surga. Ia hanya akan menghasilkan kaum intelektual, yang kaya ilmu namun miskin integritas. Sebagaimana dikatakan Einstein: “Manusia maju secara iptek, namun primitif secara moral.”

Aplikasi

Pengembangan SDM merupakan syarat utama kemajuan sebuah gereja. Namun data SDM GMIT masih tergolong memprihatinkan. Data sementara Statistik Pendidikan GMIT yang dirilis BP4S per 7 Mei 2023 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan warga GMIT didominasi tamatan SD (31,35%) dan

 

SMA (23,84%). Jemaat yang berpendidikan diploma I-IV hanya mencapai 1,74%, Sarjana sebanyak 5,40%, S2 sebesar 0,29% dan S3 berjumlah 0,02%. Rendahnya tingkat pendidikan anggota jemaat ini membuktikan bahwa prinsip “ketidaktahuan adalah ibu dari kesalehan” yang dikritik oleh Luther dan Calvin, ternyata masih kokoh berdiri setelah gerakan reformasi berusia lebih dari 500 tahun.

Sudah selayaknya Perayaan Bulan Pendidikan yang bersifat ritual dan seremonial diganti dengan upaya konkrit untuk memperbaiki statistik ini. Setiap jemaat perlu merumuskan target untuk meningkatkan statistik pendidikan di jemaat masing-masing. Tiap gereja perlu menyusun peta jalan pendidikan yang hendak dicapai 10 tahun mendatang. Bila kita merayakan bulan pendidikan, berapa banyak jumlah Sarjana yang hendak dicapai? Berapa anak keluarga kurang mampu yang bisa menikmati pendidikan Sarjana yang difasilitasi dari beasiswa gereja? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan level literasi dan numerasi anggota jemaat, termasuk penguasaan bahasa asing? Melalui perumusan  peta jalan tersebut, seluruh Perayaan Bulan Pendidikan akan merupakan jawaban yang tepat terhadap sejumlah pertanyaan pokok tersebut.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Linkdin
Share on Pinterest

Leave a comment

Kumpulan Bacaan