Sabar Menderita Karena Kebenaran

Minggu Sengsara III, 25 Februari 2024

Pembacaan Alkitab: 1 Petrus 3:13-22

Tema: Sabar Menderita Karena Kebenaran

 

Pengantar

Orang percaya di sepanjang zaman seringkali berhadapan dengan dua jenis penderitaan, yakni penderitaan yang manusiawi yang dialami oleh siapapun, dan penderitaan karena imannya kepada Kristus. Penganiayaan karena nama Kristus melahirkan sikap jemaat yang beragam. Ada yang menjadi ragu-ragu untuk tetap meninggalkan kekristenan karena tidak ingin menderita. Namun tidak sedikit pula yang tetap setia mempertahankan imannya di tengah penganiayaan.

 

Penjelasan Teks dan Aplikasi

Dalam perikop ini, penulis mempersiapkan jemaat untuk: (1) bersiap menghadapi penderitaan, dan (2) memandang Yesus sebagai teladan kita.

a. Bersiap Menghadapi Penganiayaan

Penulis menasehati jemaat untuk rajin berbuat baik, meski dianiaya. Kata rajin disini berarti “sungguh-sungguh berbuat baik” dan “bersemangat untuk apa yang baik”. Artinya bahwa di tengah situasi penganiayaan seperti ini, kita harus lebih bersungguh-sungguh untuk berbuat baik. Kita harus melakukannya dengan semangat yang jauh lebih besar dari biasanya. Penganiayaan tidak boleh mengurangi, apalagi menghilangkan perbuatan baik kita. Justru sebaliknya, di tengah dahsyatnya penderitaan, perbuatan baik kita harus semakin nampak dan bersinar. Kita harus lebih bersungguh-sungguh dan tetap bersemangat untuk berbuat baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi yang sedang melanda kita. Apa yang ingin dikatakan oleh Petrus adalah cintailah kebaikan dengan intensitas yang membara seperti seorang pahlawan paling fanatik yang mencintai negaranya. Tidak ada hati yang murni jika tidak ada semangat; tidak ada kebajikan yang aman jika tidak antusias. Hanya ketika seseorang jatuh cinta pada kebaikan, barulah hal-hal yang salah kehilangan daya tarik dan kekuatannya.

Krisostomus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan hal berikut tentang hak istimewa penderitaan: “Jika permaisuri memutuskan untuk mengusirku, biarkan dia mengusirku; ‘Bumi adalah milik Tuhan dan segala isinya.’ Jika dia melemparkan aku ke laut, biarlah dia melemparkan aku ke dalam laut; Aku akan mengingat Yunus. Jika dia melemparkan aku ke dalam perapian yang menyala-nyala, ketiga anak itu (Sadrakh, Mesakh dan Abednego) sudah ada di sana sebelum aku. Jika dia melemparkan aku ke binatang buas, aku akan ingat bahwa Daniel berada di gua singa. Jika dia menghukumku untuk dirajam, aku akan menjadi rekan Stefanus, sang proto-martir. Jika dia ingin memenggal kepalaku, maka Yohanes Pembaptis juga telah menerima hukuman yang sama. Jika dia mengambil hakikatku, ‘dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya.’”

b. Yesus Adalah Teladan Kita

Aspek ini dimulai dengan menguduskan Kristus sebagai Tuhan di dalam hati. Ini dapat berarti “menghormati Kristus sebagai Tuhan”. “Hati” merupakan tempat emosi yang mendalam, di situlah rasa takut akan berdiam. Tetapi Petrus ingin agar orang-orang percaya mengubah rasa takut dengan iman dan rasa hormat. Melalui pengakuan mereka kepada Kristus sebagai Tuhan

dan Juruselamat, mereka dapat bersandar pada-Nya. Rasa takut tidak akan mendapatkan tempat di relung hati mereka. Hal ini menyinggung kata-kata nabi Yesaya: “Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar (Yesaya 8:13). Ketika orang percaya menguduskan Yesus dan menghormati Dia di dalam hatinya, akan timbul keyakinan bahwa Dialah yang mengendalikan segala peristiwa. Dia adalah raja yang berkuasa, dan bahwa semua kekuasaan dan otoritas pada akhirnya harus bertanggung jawab kepada-Nya.

Selain hati, Petrus juga hendak menekankan kekudusan pikiran. Ketika menjadi orang Kristen, kita tidak diminta untuk meninggalkan pikiran kita di tempat parkir. Ayat 15b mengatakan: “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu.” Kita dipanggil untuk berpikir sesuai dengan Firman Tuhan, untuk mencari pikiran Kristus dan pemahaman tentang hal-hal yang tercantum dalam Kitab Suci. Semua pemahaman ini diperlukan untuk mempertanggungjawabkan apa yang kita imani. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan hati, tetapi dengan pikiran. Karenanya hati dan pikiran bukanlah dua hal yang bertentangan. Dalam kasus tertentu, kecenderungan hati kita tentang Allahlah yang lebih penting daripada kebenaran teologi kita. Tetapi juga diakui bahwa kebenaran Tuhan tidak dapat masuk ke dalam hati kita, kecuali kebenaran tersebut diproses terlebih dahulu oleh pikiran kita.

Petrus menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di antara jemaat yang lebih menderita jika dibandingkan dengan Kristus. Dia adalah Penderita Utama. Kita hanya tahu sedikit tentang penderitaan. Hanya ujung pakaian duka yang pernah kita sentuh, namun Kristus memakainya sebagai jubah sehari-hari. Kita hanya mengecap cawan penderitaan, sementara Dia Yang Kudus meminumnya hingga ampasnya yang paling pahit. Kita hanya merasakan sedikit kehangatan tungku Nebukadnezar, tapi dia tinggal di tengah-tengah api. Tetapi kehidupan Yesus tidak berakhir dalam penderitaan. Ia bangkit dan naik ke Surga, duduk di sebelah kanan Allah. Kemuliaan ini diperoleh-Nya sesudah segala malaikat, kuasa dan kekuatan ditaklukkan kepada- Nya. Inilah pengharapan kekristenan di tengah pendetiaan. Tuhan tidak hanya mengizinkan kita mangalami penderitaan. Ia juga menyediakan kemuliaan bagi setiap orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi pelebaran kerajaan-Nya di dunia (jami).

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Linkdin
Share on Pinterest

Leave a comment

Kumpulan Bacaan